Meninjau Esensi: Refleksi Kritis atas Peran Ilmu Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer
Namun, di balik layar cemerlang kampanye iklan mereka, terdapat manipulasi yang merugikan, mengubah kita menjadi konsumen yang terus-menerus terjebak dalam lingkaran konsumsi tak berujung.
Di era informasi yang semakin kompleks dan terkoneksi, peran ilmu komunikasi menjadi semakin krusial dalam memahami dinamika hubungan manusia. Namun, di balik kemajuan teknologi dan perkembangan media, pertanyaan kritis pun muncul: apakah ilmu komunikasi sebenarnya? Apakah itu sekadar alat untuk memenuhi hasrat manusia?
Sebuah pernyataan tajam yang mencuat dari pemikiran kritis, “Ilmu Komunikasi adalah ilmu tentang menaklukkan hasrat manusia”, mengundang kita untuk merenung. Pernyataan ini mengajak kita untuk melihat lebih dalam esensi dari ilmu komunikasi: apakah ia benar-benar memahami dan mengontrol keinginan dan kebutuhan manusia, ataukah sekadar menjadi alat untuk memanipulasi dan mengontrol?
Dalam buku kritis tentang ilmu komunikasi, penulis mempertanyakan sudut pandang dominan yang cenderung mengabaikan aspek kritis dari disiplin ini. Salah satu karya yang mencerminkan pemikiran ini adalah “The Political Economy of Communication” oleh Vincent Mosco. Dalam buku ini, Mosco menggali hubungan antara ekonomi, politik, dan media, serta bagaimana dinamika tersebut memengaruhi kontrol atas hasrat manusia dalam masyarakat modern.
Melalui karyanya ini, Mosco menggali bagaimana ketiga elemen tersebut saling terkait dan memengaruhi kontrol atas hasrat manusia dalam masyarakat modern. Namun, sementara Mosco memberikan wawasan yang mendalam, kritik-kritik tertentu perlu diajukan terhadap pendekatan dan analisisnya.
Pertama-tama, Mosco menyoroti bagaimana ekonomi, politik, dan media saling bertaut dan saling memengaruhi. Dia menggambarkan bagaimana kekuatan ekonomi, melalui perusahaan media yang beroperasi dalam sistem kapitalisme global, memainkan peran penting dalam menentukan narasi dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Namun, kritik muncul ketika Mosco mungkin terlalu menyederhanakan kompleksitas hubungan antara ketiga elemen ini, terutama dalam memahami nuansa politik dan ekonomi yang mungkin tidak selalu sejalan.
Selanjutnya, Mosco menyoroti bagaimana dinamika tersebut memengaruhi kontrol atas hasrat manusia. Dia mencatat bahwa media, sebagai bagian dari industri komunikasi yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi dan politik, memiliki kekuatan besar dalam membentuk dan mengarahkan keinginan dan kebutuhan manusia. Namun, kritik dapat diajukan terhadap pemahaman Mosco tentang bagaimana hasrat manusia sebenarnya dikontrol. Apakah kontrol ini bersifat mutlak, ataukah ada ruang bagi resistensi dan perlawanan dari masyarakat terhadap dominasi media dan kekuatan ekonomi-politik?
Selain itu, sementara Mosco menyoroti bagaimana kontrol atas hasrat manusia terjadi melalui media, kritik muncul terhadap sudut pandangnya yang mungkin terlalu deterministik. Apakah media hanya berperan sebagai alat untuk mengontrol dan memanipulasi, ataukah ada potensi untuk media menjadi sarana untuk emansipasi dan perubahan sosial?
Menggugat Hegemoni Media
Dua karya penting dalam literatur kritis tentang media, “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media” oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky, serta “The Society of the Spectacle” oleh Guy Debord, memberikan pandangan kritis terhadap peran media dalam membentuk opini publik dan realitas sosial.
Dalam “Manufacturing Consent,” Herman dan Chomsky secara tajam mengungkap bagaimana media massa bukan hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga alat kontrol politik dan ekonomi yang kuat. Mereka menyoroti bagaimana kepentingan politik dan ekonomi memengaruhi narasi yang disampaikan kepada masyarakat, membentuk opini publik sesuai dengan agenda tertentu. Analisis mendalam mereka membongkar mekanisme di balik produksi berita, menunjukkan bagaimana seleksi berita dan framing cerita dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi masyarakat.
Namun, kritik terhadap dominasi media tidak hanya terbatas pada aspek politik dan ekonomi. Guy Debord, dalam “The Society of the Spectacle,” membawa kita ke dalam dunia spektakel modern di mana realitas telah digantikan oleh citra dan representasi. Debord menyoroti bagaimana media menjadi alat untuk mengaburkan batas antara realitas dan imajinasi, menciptakan masyarakat yang teralienasi dan terlepas dari kesadaran akan dunia sebenarnya. Dalam spektakel ini, individu dihadapkan pada dunia yang hampa makna, di mana konsumsi citra dan simbol menggantikan pengalaman langsung.
Kritik yang diungkapkan oleh kedua karya ini menggugat hegemoni media dalam membentuk persepsi dan realitas sosial. Mereka mengingatkan kita akan pentingnya mempertanyakan informasi yang disajikan oleh media dan melihat di balik narasi yang dihasilkan. Hanya dengan pemahaman yang kritis dan analisis yang mendalam kita dapat melihat melampaui layar dan citra yang diproyeksikan, dan memahami kompleksitas dunia di sekitar kita.
Sebagai konsumen informasi, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi pemaklum dan pasif, tetapi juga menjadi kritikus yang cerdas terhadap media dan realitas yang mereka ciptakan.
Salah satu aspek kritis dalam memahami hegemoni media di Indonesia adalah melalui studi tentang kepemilikan media. Kajian oleh Widjajanto (2017) menunjukkan bagaimana sebagian besar media massa di Indonesia dikendalikan oleh kelompok bisnis besar yang memiliki hubungan yang erat dengan elit politik dan ekonomi. Hal ini menciptakan dinamika di mana media menjadi alat untuk memperkuat kepentingan kelompok tertentu, sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat umum.
Selain itu, penelitian tentang hubungan antara media dan politik di Indonesia juga mengungkap pola dominasi yang tidak terbantahkan. Menurut kajian oleh Abdullah (2019), media sering kali digunakan sebagai instrumen politik oleh partai politik dan elit politik untuk mempengaruhi pandangan publik, memanipulasi opini, dan mengendalikan agenda politik. Dalam konteks ini, media tidak lagi menjadi lembaga yang independen, tetapi menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan politik yang sudah ada.
Kritik terhadap hegemoni media di Indonesia juga melibatkan analisis terhadap isu-isu kebebasan pers dan pluralisme media. Kajian oleh Rakhmat (2018) menyoroti bagaimana pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pers dan intimidasi terhadap wartawan dapat menghambat keragaman pandangan dan pluralisme dalam ruang media. Di tengah tekanan dari pemerintah dan kekuatan politik lainnya, media sering kali menemui kesulitan untuk memberikan liputan yang independen dan kritis terhadap berbagai isu sosial dan politik.
Dalam konteks kajian kritis ini, penting untuk melihat kekuatan politik yang tidak tersentuh dalam dominasi media di Indonesia. Referensi yang relevan untuk memperdalam pemahaman tentang masalah ini adalah “Media and Politics in Indonesia” oleh Camelia Dewi, yang menyajikan analisis mendalam tentang hubungan yang kompleks antara media dan politik di Indonesia.
Dalam pandangan kritis ini, ilmu komunikasi tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk memahami dan menganalisis fenomena komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk memahami dan mengkritisi struktur kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Ini memang sebuah tantangan yang membutuhkan refleksi mendalam dan analisis yang kritis terhadap peran dan dampak ilmu komunikasi dalam kehidupan manusia.
Sebagai mahasiswa atau praktisi ilmu komunikasi, penting bagi kita untuk mengambil sudut pandang kritis terhadap disiplin ini. Kita perlu menyadari bahwa ilmu komunikasi bukanlah sekadar alat untuk memenuhi hasrat manusia, tetapi juga merupakan medan pertempuran ideologi, kekuasaan, dan kontrol dalam masyarakat modern. Dengan pemahaman yang lebih dalam dan kritis, kita dapat menjadi agen perubahan yang mampu memanfaatkan ilmu komunikasi untuk kepentingan yang lebih luas dan kemanusiaan.
Dalam konteks kekuatan media sosial dan marketing dalam mengontrol hasrat dan kehidupan manusia, penting untuk melihat bagaimana fenomena ini berperan dalam dinamika komunikasi kontemporer. Media sosial, dengan kehadirannya yang meresap dalam hampir setiap aspek kehidupan, telah menjadi salah satu alat utama dalam mengarahkan dan memengaruhi perilaku, keinginan, dan kebutuhan manusia.
Kritik atas Manipulasi Hasrat dan Kebutuhan
Industri periklanan dan media telah menjadi mesin raksasa yang bertujuan untuk merebut perhatian kita, menciptakan lingkungan di mana kita terus-menerus terpapar pesan-pesan yang merangsang hasrat dan keinginan kita.
Dalam karya seminalnya — karya-karya yang dianggap sangat penting dan berpengaruh dalam suatu bidang atau disiplin tertentu — , “The Attention Merchants: The Epic Scramble to Get Inside Our Heads,” Tim Wu menggambarkan bagaimana perusahaan-perusahaan ini berlomba-lomba untuk menguasai ruang pikiran kita dengan memanfaatkan teknologi dan data. Namun, di balik layar cemerlang kampanye iklan mereka, terdapat manipulasi yang merugikan, mengubah kita menjadi konsumen yang terus-menerus terjebak dalam lingkaran konsumsi tak berujung.
Adam Alter dalam “Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked” membawa kita ke dalam dunia digital yang merayap ke dalam setiap aspek kehidupan kita. Dengan desain produk yang dirancang untuk menciptakan ketergantungan dan kecanduan, platform-media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter telah berhasil menjadikan kita sebagai “pengguna” yang terus-menerus terikat pada layanan mereka. Dalam upaya mereka untuk mempertahankan profitabilitas, perusahaan teknologi sering kali mengorbankan kesejahteraan pengguna demi mengejar retensi yang lebih tinggi.
Namun, kritik tidak hanya terbatas pada media digital. Martin Lindstrom, dalam “Buyology: Truth and Lies About Why We Buy,” menggali ke dalam praktik-praktik manipulatif yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam mengendalikan keinginan konsumen. Dengan menggunakan berbagai teknik psikologis, perusahaan-perusahaan ini berhasil memanipulasi persepsi dan perilaku konsumen, menciptakan pasar yang terus-menerus berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam prosesnya, keaslian keinginan dan kebutuhan konsumen seringkali diabaikan demi kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Kritik atas praktik manipulatif industri periklanan dan media menjadi penting dalam mengungkapkan ketidakadilan yang terkandung di dalamnya. Perusahaan-perusahaan ini sering kali beroperasi tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka, bahkan jika itu berarti merusak kesejahteraan dan kebebasan individu.
Sebagai konsumen, penting bagi kita untuk mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan pembelian dan interaksi media kita. Hanya dengan menjadi sadar akan praktik manipulatif ini kita dapat mengambil langkah-langkah untuk melawan dominasi industri yang terus tumbuh ini dan mendorong perubahan yang lebih baik untuk masa depan komunikasi dan konsumsi.
Dari perspektif ini, kita dapat melihat bahwa ilmu komunikasi tidak hanya menjadi alat untuk memahami dinamika komunikasi dalam masyarakat, tetapi juga sebagai alat untuk memahami dan mengkritisi bagaimana kekuatan media dan marketing digunakan untuk mengendalikan dan memanipulasi hasrat dan kehidupan manusia. Ini menunjukkan pentingnya pendekatan kritis terhadap ilmu komunikasi, di mana kita tidak hanya memahami fenomena komunikasi, tetapi juga bertanggung jawab untuk mengungkap dan mengekspos bagaimana kekuatan tersebut dapat memengaruhi masyarakat dalam hidupnya.