Permintaan dalam Hujan
Hujan deras menghujam kota, menciptakan irama monoton yang menyelimuti malam. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, Dimas duduk terpaku, menatap cangkir kopi hitam di depannya. Uap panas mengepul dari permukaan cairan pekat itu, menyebarkan aroma pahit yang membawanya kembali ke masa lalu. Malam ini, kenangan seperti embun di jendela — kelam dan sulit dihapus.
Ia selalu menyukai kopi hitam. Pahit, pekat, dan kelam, seperti hidup yang ia rasa kini. Setiap tegukan adalah pengingat akan hari-hari penuh kepedihan yang ia jalani, terjebak dalam kenangan tentang seorang wanita yang dulu pernah begitu dekat di hatinya. Dimas menatap keluar jendela, melihat hujan yang jatuh tanpa ampun, seolah langit sedang menangis bersamanya. Langit telah hitam, dan malam semakin buram.
“Aku tidak pantas mendapat hidup seperti ini, bukan?” pikir Dimas dengan getir. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, bayang-bayang masa lalu selalu mengejarnya, menghantui setiap langkah yang diambilnya. Dia berdoa untuk bebas dari kenangan itu, dari rasa sakit yang terus mencengkram hatinya. “Tuhan, lepaskan aku dari rasa menyebalkan ini,” bisiknya dalam hati, berharap ada kekuatan yang mampu mengangkat beban berat dari pundaknya.
Di sudut kafe yang lain, seorang pria tua sedang menyeruput kopi dengan tenang. Matanya yang lembut dan penuh kasih sayang memperhatikan Dimas. Ia mengenal tatapan itu, tatapan seseorang yang terluka oleh cinta. Tanpa ragu, pria tua itu mendekat dan duduk di depan Dimas. “Hei, kawan,” sapanya dengan suara lembut. “Lihatlah sekelilingmu. Begitu banyak cinta yang menjagamu. Tidakkah kau peduli akan itu?”
Dimas terkejut dengan kedatangan pria tua itu, namun di dalam hatinya ia merasakan kehangatan yang sudah lama hilang. Ia mendongak dan menatap pria tua itu. “Aku pernah berpikir dan membayangkan, bagaimana jadinya hidupku jika dahulu aku tidak pernah lari dari dirimu,” gumam Dimas dengan suara bergetar, seolah berbicara pada bayang-bayang yang ada di pikirannya.
Pria tua itu tersenyum, senyum yang penuh pengertian. “Setiap orang memiliki dramanya sendiri, dan ini mungkin drama yang harus kau hadapi. Tetapi, kamu tidak sendirian. Ada banyak cinta di sekitarmu yang siap mendukungmu, jika kamu membuka hati.”
Dimas terdiam, merasakan setiap kata yang diucapkan pria tua itu menusuk ke dalam jiwanya. “Aku ingin berdamai denganmu,” kata Dimas perlahan. “Namun sangat sulit. Berdamai untuk diri sendiri dengan memaafkanmu. Melupakanmu. Sangat sulit. Setiap singgah pada titik terendahku, yang kuingat hanya kamu. Seberapa bajingannya dirimu.” Kata-kata itu mengalir seperti air hujan di luar, membersihkan sebagian dari luka yang sudah lama ia simpan.
Pria tua itu menatap Dimas dengan mata penuh harapan. “Tuhan selalu mendengarkan, anak muda. Mintalah dengan hati yang tulus, dan percayalah bahwa suatu hari nanti, kau akan bebas dari rasa sakit ini. Yang kau butuhkan adalah waktu dan keberanian untuk melangkah maju.” Dimas menatap ke luar jendela lagi, melihat hujan yang masih deras. Di balik derasnya hujan, ia bisa melihat secercah cahaya kecil yang menyala di kejauhan, memberikan harapan yang samar namun nyata.
“Untuk hari ini. Pagi ini. Minggu ini, bulan ini atau selamanya, Tuhan, lepaskan aku dari rasa menyebalkan ini. Ijinkan aku berdamai dengan diriku sendiri. Berikan aku kemampuan untuk memaafkan. Lepaskan aku dari semua prasangka buruk,” kata Dimas dalam hati, dengan keyakinan baru yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.
Malam semakin larut, dan hujan mulai mereda. Dimas menatap kopi hitamnya yang kini dingin, namun hatinya terasa lebih hangat. Ia merasa beban yang menghimpitnya mulai mengendur, memberikan ruang bagi harapan dan kebahagiaan baru. “Aku ingin membuat drama indah untuk diriku. Tanpa dirinya, tanpa ingatan tentangnya,” kata Dimas dengan tekad yang bulat.
Pria tua itu tersenyum dan menepuk bahu Dimas. “Kamu bisa, anak muda. Lanjutkan langkahmu. Dunia ini penuh dengan keajaiban yang menunggu untuk kau temukan. Ijinkan dirimu bebas, dan buatlah cerita baru yang lebih indah.”
Hujan berhenti, dan malam yang kelam kini tergantikan oleh langit yang mulai cerah. Dimas menghirup udara malam yang segar, merasakan kebebasan yang mulai menyelinap ke dalam dirinya. Ia tahu, perjalanan masih panjang, tetapi dengan hati yang lebih ringan, ia siap untuk melangkah maju, meninggalkan masa lalu dan menyambut hari-hari baru yang penuh harapan.
“Ijinkan aku melepas namanya, selamanya,” bisik Dimas sekali lagi. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar percaya bahwa ia bisa melakukannya. Dengan langkah mantap, ia keluar dari kafe, meninggalkan cangkir kopi hitam yang kosong di meja. Masa depan menantinya, dan ia siap untuk menghadapinya dengan hati yang lebih tenang dan penuh harapan.