Sebuah Kontemplasi

Dani Kosasih
7 min readJun 9, 2024

--

Siapakah saya? Pertanyaan ini, meskipun tampak sederhana, mengandung kompleksitas yang mendalam yang menjelajahi esensi identitas dan tujuan hidup. Dulu saya berpikir bahwa saya hanyalah salah satu wajah di antara kerumunan, seorang yang tidak memiliki arti penting.

Rasanya seperti saya melayang dalam kehidupan, sekadar ada daripada benar-benar hidup. Namun, ketika saya memulai perjalanan saya sebagai jurnalis, saya mulai mengupas lapisan-lapisan dari pertanyaan ini. Pertanyaan ini menjadi lensa melalui mana saya bisa melihat kehidupan saya, pilihan-pilihan saya, dan dampak yang bisa saya berikan kepada dunia di sekitar saya.

Jurnalisme adalah jalur yang saya pilih. Ini bukanlah karier yang saya temukan karena putus asa atau kurangnya pilihan, seperti yang mungkin diasumsikan oleh sebagian orang. Tidak, ini adalah keputusan yang disadari yang berakar pada cinta mendalam terhadap menulis dan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan tentang dunia.

Saya masih ingat bagaimana pedihnya ucapan-ucapan meremehkan dari mereka yang lebih berpengalaman dalam kehidupan dan karier. Seorang jurnalis senior pernah berkata kepada saya, “Kamu hanya ada di sini karena kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Kamu di sini karena tidak punya pilihan lain.” Kata-kata itu, yang dilontarkan dengan nada merendahkan, terasa sangat menyakitkan. Tetapi, kata-kata itu juga memicu tekad saya.

Menjadi jurnalis bukan hanya tentang memiliki pekerjaan; itu adalah tentang menyalurkan hasrat saya untuk menulis ke dalam sesuatu yang bermakna. Mengapa jurnalisme? Karena menulis adalah wadah yang bisa berlayar melalui berbagai perairan, dari lautan tenang ekspresi pribadi hingga gelombang bergejolak diskursus publik.

Thales pernah berkata bahwa hidup itu sendiri adalah politik, dan politik adalah kekasih yang kejam. Perspektif ini menarik minat saya. Perspektif ini mengisyaratkan bahwa setiap peristiwa, setiap kejadian, memiliki lapisan-lapisan narasi tersembunyi di baliknya. Sebagai seorang jurnalis, saya bisa menyelami lapisan-lapisan ini, mengungkap kisah-kisah yang tersembunyi di balik pengetahuan umum.

Dalam peran saya, saya telah menjelajahi wilayah-wilayah yang tidak dikenal, baik secara harfiah maupun kiasan. Saya telah masuk ke tempat-tempat di mana orang biasa tidak diizinkan, berinteraksi dengan tokoh-tokoh berpengaruh, dan merasakan sensasi menaiki pesawat militer. Pengalaman-pengalaman ini memberi saya sudut pandang unik untuk mengamati dunia. Namun, pengalaman-pengalaman ini juga membuka mata saya pada realitas manusia yang keras, ketidakadilan, dan kebenaran yang sering kali menyakitkan yang menyertai kekuasaan dan privilese.

Meskipun ada keuntungan dalam profesi ini, profesi ini juga tidak luput dari kritik. Orang sering menuduh jurnalis memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi. “Selalu bepergian, hidup mewah dengan uang orang lain!” mereka berkata. Tetapi yang mereka tidak lihat adalah beban yang datang dengan mengetahui terlalu banyak.

Semakin banyak Anda tahu, semakin Anda bergulat dengan beratnya ketidakadilan dan kompleksitas sifat manusia. Seperti yang pernah dikatakan Soe Hok Gie, politik adalah permainan yang kotor. Pengetahuan yang kami peroleh sering kali meninggalkan kami dalam keadaan kecewa, menyadari kenyataan suram yang tersembunyi di balik berita utama.

Perjalanan untuk menjadi seorang jurnalis yang diakui penuh dengan tantangan, terutama bagi kami yang bekerja untuk media yang kurang dikenal. Tidak seperti para jurnalis terkemuka dari media ternama seperti Kompas, Tempo, atau Media Indonesia, kami harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan akses, pengakuan, dan kepercayaan.

Kami harus mendapatkan rasa hormat dari narasumber kami, membuktikan nilai kami bukan hanya sebagai perwakilan dari sebuah media, tetapi sebagai individu yang berkomitmen untuk mengungkap kebenaran. Perjuangan ini adalah bukti bahwa mencapai kredibilitas dan pengaruh dalam jurnalisme jauh dari mudah.

Siapakah saya dibandingkan dengan mereka yang jauh lebih berprestasi? Memang, siapakah saya? Saya mungkin tidak memiliki tingkat kesuksesan atau pengakuan yang sama, tetapi itu tidak membuat saya tidak penting. Saya adalah seseorang yang berharga, setidaknya bagi diri saya sendiri, jika tidak bagi orang lain.

Realisasi ini adalah pengingat kuat bahwa setiap orang, terlepas dari status atau pencapaiannya, memiliki nilai yang melekat. Kita semua adalah bagian dari jalinan kehidupan yang rumit, masing-masing benang menyumbang pada keseluruhan yang lebih besar.

Pada akhirnya, ini bukan tentang bagaimana orang lain memandang kita atau bagaimana kita dibandingkan dengan standar mereka. Ini tentang memahami siapa kita dan merangkul perjalanan kita, dengan semua naik dan turunnya.

Melalui pekerjaan saya sebagai seorang jurnalis, saya belajar bahwa nilai sejati seseorang tidak terletak pada pencapaian eksternal mereka, tetapi pada kesediaan mereka untuk terlibat dengan dunia, untuk bertanya, belajar, dan tumbuh. Ini tentang keberanian untuk menghadapi yang tidak diketahui, untuk menantang status quo, dan untuk mencari kebenaran, tidak peduli seberapa tidak nyaman hal itu.

Siapakah saya? Saya adalah seorang jurnalis, pencari cerita, pecinta kebenaran. Saya adalah seseorang yang, meskipun menghadapi tantangan dan kritik, berkomitmen untuk membuat perbedaan, sekecil apa pun itu.

Bagaimana denganmu? Siapakah kamu?

— — — — — — — — — — — —

“Who Am I?” — A Descriptive Essay on Self-Discovery Through Journalism

Who am I? This question, seemingly simple, is layered with complexities that delve into the essence of identity and purpose. I used to think that I was just another face in the crowd, a person of no significant importance. It felt as though I was floating through life, merely existing rather than truly living.

But as I embarked on my journey as a journalist, I began to peel back the layers of this question. It became a lens through which I could examine my life, my choices, and the impact I could have on the world around me.

Journalism was my chosen path. It wasn’t a career I stumbled upon out of sheer desperation or lack of options, as some might assume. No, it was a conscious decision rooted in a profound love for writing and an insatiable curiosity about the world. I remember the sting of dismissive remarks from those more experienced in life and career.

A senior journalist once told me, “You’re only in this because you couldn’t get a job anywhere else. You’re here because you had no other choice.” The words, laced with condescension, stung deeply. But they also fueled my determination.

Becoming a journalist was not just about having a job; it was about channeling my passion for writing into something meaningful. Why journalism? Because writing is a vessel that can sail through any waters, from the calm seas of personal expression to the turbulent waves of public discourse.

Thales once said that life itself is politics, and politics is a cruel mistress. This perspective intrigued me. It suggested that every event, every occurrence, has layers of unseen narratives beneath its surface. As a journalist, I could delve into these layers, uncovering the stories that lie hidden beneath the veneer of public knowledge.

In my role, I’ve ventured into unfamiliar territories, both literally and metaphorically. I’ve walked into spaces where ordinary people are not allowed, interacted with influential figures, and experienced the thrill of riding in military aircraft.

These experiences have afforded me a unique vantage point from which to observe the world. But they have also exposed me to the stark realities of human existence, the injustices and the often harsh truths that accompany power and privilege.

Despite the perks of the profession, it’s not without its criticisms. People often accuse journalists of exploiting their positions for personal gain. “Always traveling, living the high life on someone else’s dime!” they say. But what they fail to see is the burden that comes with knowing too much.

The more you know, the more you grapple with the weight of injustice and the complexity of human nature. As Soe Hok Gie famously remarked, politics is a dirty game. The knowledge we acquire often leaves us disillusioned, aware of the grim realities that lie behind the headlines.

The journey to becoming a recognized journalist is fraught with challenges, especially for those of us working for less well-known media outlets. Unlike the esteemed journalists from prominent publications such as Kompas, Tempo, or Media Indonesia, we have to fight harder for access, recognition, and trust.

We must earn the respect of our sources, proving our worth not just as representatives of a media house but as individuals committed to uncovering the truth. This struggle is a testament to the fact that achieving credibility and influence in journalism is far from easy.

Who am I compared to those who are so much more accomplished? Indeed, who am I? I may not have the same level of success or recognition, but that does not make me insignificant. I am someone of value, at least to myself, if not to others. This realization is a powerful reminder that everyone, regardless of their status or accomplishments, is inherently valuable. We are all part of the intricate tapestry of life, each thread contributing to the greater whole.

In the end, it is not about how others perceive us or how we measure up to their standards. It’s about understanding who we are and embracing our journey, with all its ups and downs.

Through my work as a journalist, I’ve learned that the true value of a person lies not in their external achievements but in their willingness to engage with the world, to question, to learn, and to grow. It’s about the courage to face the unknown, to challenge the status quo, and to seek the truth, no matter how uncomfortable it may be.

Who am I? I am a journalist, a seeker of stories, a lover of truth. I am someone who, despite the challenges and criticisms, is committed to making a difference, however small.

--

--