Kamisan: Malam yang Tanpa Lelap
Malam itu di sebuah sudut kota, suasana terasa sunyi. Lampu-lampu jalanan memancarkan cahaya kekuningan yang suram, menerangi lorong-lorong yang sepi. Di sebuah kamar apartemen yang sederhana, seorang lelaki terbaring di tempat tidurnya, matanya terbuka lebar menatap langit-langit yang gelap. Tidur tidak kunjung datang. Ia tidak bisa menikmati lelap malam ini, pikirannya bergelut dengan keresahan yang terus menghantuinya.
“Tidakkah nikmat lelapmu malam ini?” suara itu bergema dalam benaknya, pertanyaan yang ia lontarkan kepada dirinya sendiri. Ingatan akan mimpi-mimpi yang pernah ia miliki mengalir seperti air deras yang tidak terbendung. Ia memikirkan bunga tidur yang mungkin bisa menjadi pelipur lara, namun tak satu pun dari mereka datang untuk menyapanya malam itu. “Apa bunga tidurmu malam tadi?” tanyanya lagi dalam hati, berharap bisa mendapatkan jawaban dari kegelapan yang menyelimutinya.
Ia memejamkan matanya, mencoba membayangkan kebahagiaan. Ia teringat hari bahagia di mana ia menghadiri pernikahan sahabatnya, senyum dan tawa menghiasi wajah mereka. Namun, di sudut pikirannya, kenangan lain menyelinap masuk — hari Kamisan di depan Istana Merdeka, di mana ibu-ibu berkerudung hitam berdiri tegak dengan wajah penuh harap. “Kau hadiri hari bahagia mereka, tapi kau palingkan arah dari Kamisan di pelupuk mata,” gumamnya, merasakan getaran kecil di dalam hatinya yang dipenuhi rasa bersalah dan ketidakberdayaan.
Di luar, hujan mulai turun, menciptakan irama lembut yang memecah kesunyian. Ia memandang keluar jendela, melihat tetesan hujan yang jatuh perlahan, seperti air mata yang tidak terbendung. “Kau ajak kami memberikan kritik, tapi kau biarkan mereka menyiksa di atas pencemaran nama baik,” pikirnya dengan getir, mengenang hari-hari di mana ia dan teman-temannya berdiri di depan gedung-gedung pemerintahan, mengangkat spanduk dan suara, berharap ada yang mendengarkan.
Tapi apa yang mereka dapatkan? Hanya diam. Mereka yang berteriak untuk keadilan, yang berjuang melawan penindasan, hanya dipandang sebelah mata. Ia merasa sakit hati, tetapi ia tidak bisa berhenti berjuang. “Kau buka lahan berjuta lapang, kau janjikan itu demi ketahanan pangan, tapi kau lupa petani yang hidup dengan hutang,” keluhnya dalam hati. Petani-petani yang terlupakan, yang berjuang untuk sesuap nasi, tetapi terjebak dalam lingkaran hutang yang tidak berkesudahan.
Ia teringat kembali pada janji-janji kosong yang sering ia dengar. “Kau bilang jangan tebang hutan, tapi moratorium hanya sebatas angan,” katanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Hutan-hutan yang terus dirusak, pepohonan yang ditebang tanpa henti, semua demi keuntungan segelintir orang yang tidak peduli pada masa depan lingkungan. Hatinya merasa semakin gelap, seolah tidak ada harapan di dunia ini.
“Tidakkah kau malu? Tidakkah kau heran mengapa kami selalu berteriak?” Suara hatinya semakin keras, penuh dengan amarah yang ia tahan selama ini. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan, yang seharusnya mendengarkan dan bertindak, malah diam dan membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Ia merasa frustrasi, tetapi ia tahu bahwa suaranya tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus berjuang, meskipun sepertinya tidak ada yang mendengarkan.
Malam semakin larut, dan hujan semakin deras. Ia tetap terjaga, memikirkan semua aksi yang pernah ia ikuti, petisi yang pernah ia tandatangani. “Kau izinkan kami melakukan aksi, kau biarkan kami membuat jutaan petisi, kau katakan itulah demokrasi,” gumamnya dengan nada sinis. Demokrasi, kata yang sering digunakan tetapi jarang dijalankan dengan sebenar-benarnya.
“Tapi apa benar kau mendengar? Apa benar kau berpikir?” tanyanya pada kegelapan, berharap ada jawaban dari tempat yang tidak pernah memberikan kepastian. Mereka yang berkuasa, yang seharusnya melayani rakyat, hanya diam dan mendiamkan. Mereka bertindak di arah yang berlawanan, meninggalkan mereka yang terus berjuang untuk keadilan.
“Demokrasi hanya sebatas kata. Demokrasi kau mainkan untuk citra,” pikirnya dengan perasaan pahit. Demokrasi yang seharusnya memberikan suara pada rakyat, hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa untuk mempertahankan citra dan kekuasaan. Ia merasa marah, tetapi juga putus asa. Apa gunanya semua perjuangan ini, jika mereka yang berkuasa tidak pernah mendengarkan?
Malam itu, ia tetap terjaga, merenungkan segala hal yang telah terjadi. “Tidakkah nikmat lelapmu malam ini?” pertanyaan itu kembali menghantui pikirannya. Jawabannya jelas: tidak, lelapnya tidak akan pernah terasa nikmat selama ketidakadilan ini terus berlangsung. Ia tahu, ia harus terus berjuang, tidak peduli seberapa berat jalannya. Suaranya, dan suara mereka yang berjuang bersamanya, tidak boleh diam. Mereka harus terus berteriak, terus melawan, demi masa depan yang lebih baik.
Bekasi, 27 April 2021.